.
Tahun 2002-2004
lalu jalan Malioboro adalah bagian dari rute-tetap saya setiap hari dan
teman-teman saat menjadi penyelenggara 4 pameran besar di Yogjakarta. Tentunya
selain Kraton, Masjid Agung, Benteng Vredeburg, Pantai Samas, Makam Imogiri,
dsb. Sehingga akan terus berbekas sebagai bagian dari ‘ceritra hidup.
.
Malioboro adalah nama seruas jalan di
pusat kota Jogjakarta. Panjang jalan Malioboro itu sendiri sekitar 500 meter
dan bersambung dengan nama jalan lainnya. Tak jauh dari tempat-tempat yang
menjadi Ikon Jogjakarta lainnya; Kraton, Stasiun Tugu, Mesjid Agung,dsb.
.
Di kedua sisi jalan itu terdapat banyak toko dan lapak pedagang dengan berbagai jenis
dagangannya, khususnya cinderamata ; tshirt, sendal, kerajinan kulit, blankon,
aneka-kuliner khas Yogja; Bakpia, juga Gudeg.’Cuuussss...
.
(1). Sejarawan
P.B.R Carey, kata ‘Malioboro’ berasal dari bahasa Sanksekerta “Malyabhara” yang
berarti karangan bunga. Pada masa kerajaan Mataram, Malioboro selalu menjadi
jalur utama tempat dilakukannya upacara perayaan atau prosesi Kraton. Jalan
Malioboro menjadi penghubung mulai Merapi, Tugu Golong-Giling hingga Kraton.
Tidak hanya karena sebagai pusat perbelanjaan, wisata dan pemerintahan saja,
tapi juga sebagai tempat pelaksanaan acara kebudayaan seperti ‘Kirab Satu Suro’
di mana rutenya dimulai dari Tugu – Malioboro – hingga ke pagelaran Kraton.
.
(2). Malioboro
diambil dari nama seorang bangsawan Inggris yaitu Marlborough, seorang anggota
pasukan kolonial dari Inggris yaitu Marlborough yang pernah menduduki
Jogjakarta pada tahun 1811-1816. Akan tetapi, sangat sedikit penjelasan yang
komperhensif untuk versi yang ke dua ini.
.
(3). Malioboro ternyata juga dapat dijelaskan
menurut bahasa Kaili, yang merupakan bahasa khas etnis Kaili di Sulawesi
Tengah. Jika dirumuskan melalui bahasa Kaili tersebut, Malioboro berasal dari
kata ‘Ma’-‘Li’ atau ‘Liu’-‘Boro’. ‘Ma’ berarti ‘orang’ atau ‘manusia’,
sementara ‘Lio’ atau ‘Liu’ berarti ‘lewat’ atau ‘jalan yang dilewati’, dan Boro
yang bermakna ‘kecil’, ‘kerdil’, atau ‘pendek’. Dengan demikian, maka ‘Malio’
atau ‘Ma’-‘Liu’-‘Boro’ dalam bahasa Kaili adalah jalan yang di lewati oleh
orang kecil (bukan keturunan ningrat). Wallahualam bishowab
.
Masih tentang
Jalan Malioboro, disana pula saya pernah berkenalan dengan pak Giman (?),
seorang kusir Delman/dokar yang biasanya ngetem di jalan Malioboro. Suatu malam
karena ada ‘hajat yang tak bisa ditunda saya berkeliling jalan Malioboro hingga
kawasan Keraton, sejak pkl.19.00 sampai menjelang dinihari.
.
Selama
diperjalan itu banyak ceritra menarik yang saya dengan + nasehat tentunya,al;
# Jika kita
ingin kaya perbanyaklah sedekah, jika pun tak berupa materi/uang, berikanlah
ilmu kepada orang lain
#Beliau pun
berceritra tentang aktifitas keraton yang bilamana itu adalah malam satu suro
maka pasukan keraton mengirim orang untuk melaksanakan upacara ritual ke Merapi
dan Parang Tritis. Biasanya kalau malam satu suro ombak disana besar dan tinggi
sekali, tapi bilamana keris dari keraton ditancapkan dibibir pantai maka Ombak
tersebut akan tenang
#Suara Drumband ghaib, Sekitar
tahun 80-an akhir, setiap tengah malam, di hari hari tertentu, akan suara
drum-band. Orang Yogja yang tinggal di barat mengira asal suara itu dari timur,
kalau dari selatan pastilah mengira itu asal suara drum-band dari arah utara,
begitu pula sebaliknya. Anehnya, suara itu ketika dicari tidak ada satupun yang
menemukan.
.
Ogh Malioboro, plus sa- Yogjakarta-Yogjakarta
–nya yang terus ‘ngangeni .
I’ll Be Back.
Insha Allah
..
#Save.Malioboro#
#Save.Yogjaku#
..
..>))))”>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar